Satgas PPK-PT IISIP Jakarta dan ECPAT Indonesia Gelar Seminar di Kampus Tercinta

Potret kegiatan seminar yang dilakukan IISIP Jakarta bersama ECPAT Indonesia, yang membahas terkait pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, Rabu (11/6/2025). Foto: Muhamad Farhan

JAKARTA, IISIP – Tim Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPK-PT) Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, bekerjasama dengan End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, menggelar seminar yang bertajuk “Penguatan Kapasitas Satgas PPK-PT IISIP Jakarta dalam Pencegahan Kekerasan Seksual” di ruang AVA-B IISIP Jakarta, Rabu (11/6/2025). Kegiatan ini dilakukan guna penguatan pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual yang kerap kali terjadi di sekitar lingkungan perguruan tinggi.

Seminar tersebut berlangsung pada pukul 09.00 hingga 15.00 WIB yang turut dihadiri oleh beberapa dosen serta mahasiswa IISIP Jakarta. Acara ini juga diisi pembicara dari tim ECPAT Indonesia, yaitu Rio Hendra dan Maria Yohanista.

Selaku Koordinator Advokasi dan hukum ECPAT Indonesia sekaligus pembicara di kegiatan seminar Rio Hendra menjelaskan, kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi sering kali ditemukan. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa unsur yang dapat dilakukan oleh pelaku dan korban, yakni seperti paksaan, ancaman, suap, tipuan, dan lainnya.

“Jadi kekerasan seksual itu harus ada unsurnya yang terjadi, baru bisa dikatakan sebagai kekerasan seksual. Jika terdapat seorang anak yang melakukan hubungan seksual atas dasar kemauan atau sama-sama berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan hasrat, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual, terkecuali terdapat unsur-unsur yang tadi saya sebutkan,” jelas Rio saat membawakan materi seminar.

Baca Juga:

“Satgas PPKS Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus”

https://iisip.ac.id/index.php/2025/03/25/satgas-ppks-cegah-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus/

Rio juga menuturkan, bentuk-bentuk dari kekerasan seksual dapat terjadi dengan berbagai macam, antara lain seperti pencabulan, pemerkosaan, sodomi, dan aktivitas seksual lainnya dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Selain kekerasan seksual, Rio menyebutkan terdapat juga eksploitasi seksual, tentu kedua hal ini berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi tujuan akhir dari pelaku untuk melakukan aksinya.

“Jadi bentuk-bentuk kekerasan itu terdapat berbagai macam ya, belum lagi kekerasan seksual yang melalui online,” tuturnya

“Kekerasan seksual itu adalah hubungan interaksi antara pelaku dan korban dengan seseorang yang lebih dewasa atau orang asing, teman sebaya, pacar, bahkan orang tua yang menjadikan objek korban sebagai pemuas pelaku. Sementara eksploitasi seksual terdapat perbedaan pada korban, korban ini tidak hanya dijadikan sebagai objek pemuas pelaku, akan tetapi korban juga dijadikan sebagai komoditas untuk meraih suatu keuntungan seperti uang, barang, dan lain-lainnya bagi pelaku yang terlibat,” tambahnya.

Permasalahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi, juga menjadi perhatian serius yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan, salah satunya terdapat pada undang-undang yang dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut dibuat sebagai bentuk upaya pencegahan dan penangan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, agar warga kampus dan mitra perguruan tinggi mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual.

“Pencegahan menjadi hal yang utama, jadi point nomer satunya kita harus bisa mencegah terlebih dahulu. Kedua, kalau memang sudah ada kasus kekerasan harus segera dilaporkan, maka dari itu ketika kita mengetahui hal tersebut, warga kampus serta mitra perguruan tinggi harus bisa melaporkan. Ketiga, kita sebagai warga kampus dan mitra perguruan tinggi harus mampu mencari bantuan ketika menemukan kekerasan seksual. Berikutnya yang keempat, warga kampus dan mitra perguruan tinggi yang mengalami kekerasan seksual, segara melakukan penanganan dan bantuan yang menyeluruh,” kata Rio.

Potret kegiatan seminar yang dilakukan tim Satgas PPK-PT IISIP Jakarta bersama ECPAT Indonesia, yang membahas terkait pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, Rabu (11/6/2025). Foto: Muhamad Farhan

Lebih lanjut, dalam paparan materinya Maria Yohanista juga menjelaskan, untuk menciptakan pelaporan kekerasan yang aman dan damai. Satgas PPK-PT harus bisa membangun sebuah kultur yang baik, sehingga pelapor atau korban yang memberikan sebuah informasi, dapat merasakan kenyaman untuk berani berbicara.

“Itu menurut saya juga menjadi tugas seorang Satgas untuk bisa membangun kesadaran terhadap kultur tersebut. Jangan sampai kita memberikan beban ganda kepada korban,” jelas Maria.

Baca Juga:

“Satgas PPKS IISIP Jakarta Akan Bertransformasi jadi PPK-PT”

https://iisip.ac.id/index.php/2025/03/26/satgas-ppks-iisip-jakarta-akan-bertransformasi-jadi-ppk-pt/

Terkait isi laporan, menurut Maria Satgas PPK-PT juga harus memiliki standar. Hal ini dapat menjadi landasan tolak ukur anggota Satgas untuk bisa memahami bahwa pelapor ataupun korban mengalami peristiwa seperti apa yang telah dialami olehnya.

“Isi pelaporan juga harus memiliki standar. Secara umum biasanya terdapat jenis pelaporannya, siapa yang melapor, korban dan pelakunya siapa, bentuk kekerasan yang terjadi, waktu, tempat, kronologi, hingga kondisi korban. Ketika kita sudah mengetahui semua hal itu, maka kita bisa tau juga kebutuhan mereka itu seperti apa,” katanya.

Kendati demikian, adanya pemahaman tersebut, maka kita bisa tahu seberapa besar sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Sanksi-sanksi ini dapat diberikan dengan berbagai variasi, mulai dari yang terberat hingga yang teringan.

“Terdapat ukuran-ukuran sanksi yang dapat diberikan kepada pelaku, sanksi itu mulai dari tingkatan yang paling tinggi hingga yang terendah. Akan tetapi, jika kejadian yang dilaporkan korban mencapai tahap teratas, maka sanksi berat yang dapat diterima pelaku berupa pidana,” ucap Maria. (Muhamad Farhan)