DEKLARASI mengenai hak petani yang direfleksikan ke dalam rezim UNDROP, memiliki dua makna besar yakni pangan merupakan isu yang kompleks dan kemenangan negara-negara berkembang untuk menentang nilai-nilai kolonialisme.

Isu pertama itu tidak hanya dipandang satu dimensi melainkan harus dipandang secara multidimensi. Bahkan menurut PBB, pangan dapat menjadi senjata. Sebagai contoh adalah ketika terjadi perang antara Rusia dan Ukraina.
”Perang ini tidak hanya memberikan dampak kepada dua negara tersebut, tetapi juga berdampak pada negara-negara lain. Ketika beras di Indonesia sedang mahal sehingga menyebabkan sebagian kelompok ekonomi menengah untuk mengubah konsumsi dari beras ke mi instan,” ujar Kepala Bidang Hubungan Internasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Zainal Arifin Fuad, dalam seminar FISIP IISIP Jakarta, Rabu (20/12).

Zainal menambahkan, hal itu pun juga memberi dimensi lain karena bahan baku mi instan berupa gandum berasal dari Rusia. Sanksi yang diberikan kepada Rusia tersebut akhirnya memberikan efek kepada kelompok menengah.

“Kendati sudah mengubah pola konsumsi nyatanya juga tidak mampu terpenuhi,” tambah Zainal lagi.

Isu kedua, lanjut Zainal, UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas) menjadi kemenangan negara-negara berkembang untuk menentang nilai-nilai kolonialisme.

Sejarah mencatat hanya ada beberapa rezim yang berhasil mendobrak nilai-nilai ini, seperti Konferensi Asia Afrika yang menghasilkan semangat anti kolonialisme dalam bentuk Bandung Spirit, rezim Deklarasi Juanda, dan yang terakhir ini adalah UNDROP.

Isu UNDROP dipandang dari sisi rezim internasional dan politik global, tetapi juga dapat dilihat dari point of view individu.

Sementara itu, dalam paparan Ketua Program Studi (Kaprodi) Ilmu Kesejahteraan Sosial Nyala Candrika disebutkan pemberdayaan terhadap petani dapat dimaknai sebagai aksi kolaborasi antara ketiga aktor yakni pekerja sosial, Pemerintah, dan petani.

“Peran pekerja sosial meliputi fasilitator, keterampilan teknis, dan membawa aspirasi petani. Peran pemerintah sebagai regulator, dinamisator, fasilitator, dan katalisator. Sementara itu, peran petani sebagai partisipasi, reprositas, dan trust,” tukas Nyala di depan puluhan peserta seminar.

Seminar dibuka Pembantu 3 Rektor IISIP Jakarta Omar Abidin Gilang yang dihadiri Dekan FISIP IISIP Enny Suryanjari, Kaprodi Ilmu Politik Nazimin Saily, Kaprodi Ilmu HI Netik Indarwati, para dosen dan mahasiswa. (RO/O-2)